Thursday, June 16, 2005

Njawani

Dilahirkan dari orangtua yang beretnis Jawa, membuatku otomatis mendapatkan predikat sebagai orang Jawa juga. Nggak bisa enggak kan. Tapi meskipun begitu tidak serta merta membuatku menjadi orang jawa yang paham budaya jawa dan berperilaku layaknya orang jawa. Karena tentunya itu tergantung dari apa saja yang aku serap dari lingkungan aku dibesarkan.

Aku sebenarnya dilahirkan bukan di tempat yang berbudaya Jawa. Baru beberapa tahun setelah itu keluargaku kembali ke tanah leluhur dan disanalah aku tumbuh dan berkembang menjadi orang jawa. Tapi terus terang saja, aku ini tidak banyak paham tentang budaya jawa. Budaya dalam arti adat istiadat leluhurnya.

Nggak Ngerti Wayang

Aku nggak ngerti wayang, nggak bisa membedakan mana tokoh wayang ini dan mana tokoh wayang yang itu. Cerita pewayangan aku juga nggak paham detil. Paling cuma ngerti nama2 keluarga Pandawa dan sedikit silsilahnya. Tertarik baca cerita wayang cuma waktu ada cerita berseri "Wayang Mbeling" di Jawa Pos yang ditulis Ki Sunu. Itu juga karena unsur humornya, bukan untuk memahami kisah sejarah pewayangan. Jadi ya sekarang udah lupa gimana alur2 kisah pewayangan itu.

Mungkin itu adalah pengaruh dari lingkungan tempat aku dibesarkan. Di Malang, yang namanya wayang itu memang nggak cukup ngetop. Pergelaran wayang kulit semalam suntuk yang biasanya menjadi pertunjukan paling ditunggu di kota yang kental berbudaya jawa, malah jarang sekali diadakan di Malang dan sekitarnya. Kalaupun ada, tidak ada seorangpun dari yang aku kenal, mengajakku untuk menonton. Di keluarga dan tetanggaku juga tidak ada yang memajang koleksi benda2 pewayangan, macam wayang kulit, gunungan, atau apalah.

Wayang memang lebih identik dengan budaya jawa yang berasal dari keraton Solo-Jogja kayaknya. Sementara Malang itu lebih terpengaruh sama budaya jawa dari Surabaya yang sudah kecampur dengan sedikit budaya Madura. Budaya Solo-Jogja itu lebih terasa di daerah jawa timur bagian selatan-barat, seperti Kediri dan Madiun. Sementara di bagian selatan-timur malah lebih kental unsur Madura, dan yang bagian utara lebih mengacu ke Suroboyoan.

Waktu kuliah aku ketemu banyak teman dari daerah yang kental dengan budaya Solo-Jogja itu. Mereka sebagian besar paham benar dengan pewayangan. Kenal tokoh2nya, hafal ceritanya. Mereka suka sama tembang2 jawa kuno dan lagu2 campursari, sedikit banyak tahu dan menerapkan filosofi jawa. Sementara aku nggak ngeh sama sekali dengan hal-hal itu.

Aku dan Gamelan

Satu budaya jawa yang sempat menjadi bagian dari kegiatanku adalah gamelan. Aku sempet beberapa kali ikutan jadi pengrawit di sekolahan. Waktu SD, sekolahku punya seperangkat gamelan, dan aku ikutan mempelajari cara memainkan beberapa peralatannya. Di SMP juga demikian. Cuma taraf belajaran, dan kalopun tampil juga cuma memainkan lagu gending2 jawa sebagai latar belakang di acara perpisahan sekolah. SMA nggak ada gamelan, jadi nggak ada yang bisa dipukul2 :P

Dan waktu kuliah, eh kok aku masih cinta ya ama gamelan, ya udah ikutan unit kegiatan karawitan lagi. Disini meskipun masih belajaran juga, tapi udah mulai naik kelas. Pernah mengiringi tarian, pernah juga mengiringi satu pertunjukan ketoprak. Dan yang cukup menyenangkan waktu harus mengiringi kelompok ludruk dari kampusku untuk tampil di berbagai tempat, dari manggung di hotel hingga syuting di stasiun tivi swasta. Lumayanlah buat pengalaman... :)

Tapi terus terang nih ya, meskipun aku pernah cukup dekat dengan yang namanya gamelan, aku belum bisa menjadi penikmat gending2 jawa. Beneran. Aku bisa menikmati saat aku menjadi bagian dari kelompok pengrawit yang memainkan gending jawa. Tapi kalo disuruh ndengerin gending jawa dengan tekun... aku bakal blank :P

Jadi sebenernya aku bukannya begitu menyukai gending jawa sehingga sering melibatkan diri dalam kelompok pengrawit, tapi yang aku sukai adalah menjadi bagian dalam suatu harmoni musik yang megah. Bisa menimbulkan suatu sensasi yang menyenangkan ketika aku ikutan memukul2 salah satu perangkat gamelan dengan irama yang menyatu dengan begitu banyak peralatan lain dalam satu harmoni :)

Njawani?

Aku sendiri nggak tau, apa aku ini cukup njawani. Apa perilakuku sehari-hari itu bisa mencerminkan perilaku orang yang berbudaya jawa, aku nggak tau. Yang bisa menilai ya orang lain. Tapi yang pasti pernah ada orang yang nggak nyangka kalo aku orang Jawa, kok nggak medok ngomongnya?, gitu katanya. Lha iyalah, aku baru medok kalo ngomong pake basa jawa, tapi kalo ngomong bahasa indonesia ya logatnya lain lagi ;)

Tapi memang aku sendiri nggak terlalu ambil peduli, apa aku ini masih njawani apa enggak. Mungkin karena aku dibesarkan di keluarga dan lingkungan yang juga nggak menjadikan budaya dan filosofi jawa sebagai pedoman perilaku hidup. Keluargaku lebih berpegang ke ajaran berperilaku dari agama.

Yang jelas sih, kalo lewat di depan orang aku tetap dengan sedikit membungkuk dan tangan ke bawah. Berperilaku ramah dan murah senyum dengan tamu. Sama orang yang lebih tua kalo menunjukkan sesuatu menggunakan jempol. Apa itu yang namanya "njawani"?...


ps. Versi bahasa jawa dari posting ini bisa dilihat di blog padhang- mbulan :D