Thursday, August 04, 2005

Priyayi


Banyak yang bilang kalo novel "Para Priyayi" adalah masterpiece dari sastrawan terkemuka Umar Kayam. Makanya waktu aku liat ada setumpuk buku ini di toko buku langgananku (entah selama ini disembunyiin dimana, kok aku nggak pernah nemu), tanpa ragu aku mengambil satu. Novel ini memang diluncurkan pertama kali pada tahun 1992, tiga belas tahun yang lalu. Tapi baru kali ini aku sempat membacanya. Telat banget ya?... biarlah, yang penting bisa nambah posting di blogku :P

Sudah terbayang dari awal, bahwa novel ini akan sangat jawa sekali. Akan mengisahkan kehidupan orang2 jawa yang berstatus sosial tinggi di lingkungannya, yang disebut sebagai "Para Priyayi" itu. Dan memang begitulah kisah yang diangkat. Walaupun ternyata para priyayi yang menjadi tokoh disini bukanlah para priyayi yang berdarah biru. Tapi berasal dari wong cilik yang kemudian mampu menaiki tangga sosial dan membangun keluarga besar yang "mriyayeni".

Gonta-ganti Penutur

Yang paling tidak biasa dari novel ini adalah pelaku utama yang jadi penutur cerita ganti-ganti. Pertama si Lantip kecil yang menuturkan masa kecilnya sampai dia bisa diasuh oleh keluarga Sastrodarsono. Kemudian ganti Sastrodarsono yang mengisahkan hidupnya flashback dari sejak diangkat jadi guru hingga jadi mantri guru yang mengangkat status sosialnya sebagai priyayi. Pindah lagi ke Lantip, terus ke Hardojo anak Sastrodarsono, dan seterusnya. Gitulah, pelaku yang melakonkan "saya" di novel ini berganti2 di tiap babnya. Masing2 punya porsi dan peran sendiri untuk membangun kisah ini menjadi satu kesatuan.

Cara penuturan macam gitu bikin aku harus menarik nafas dulu setiap kali memulai bab baru. Soalnya harus mempersiapkan diri untuk mengikuti perubahan karakter sesuai dengan pelakon selanjutnya. Dan kalo itu adalah pelakon yang baru pertama kali bertutur, maka harus siap untuk melakukan perkenalan terlebih dahulu. Jadinya mood yang baca bisa naik turun setiap kali ganti bab, karena harus selalu mengikuti irama dari pergantian pelaku yang berbeda2 karakter itu.

Bagusnya sih yang baca jadi bisa merasa lebih masuk dan memahami setiap karakter, karena pernah mengikuti langsung pola pikir si karakter waktu menghadapi masalah yang ada di kisah ini. Rasanya kita jadi kenal secara langsung dengan tiap tokoh, bukan sekedar sebagai orang ketiga. Lebih akrab gitu.

Siapa Sih Priyayi Itu?

Nggak usah dicritain lagi kali ya, gimana cerita yang ada di novel ini, secara udah banyak yang baca. Ya pokoknya tentang bagaimana seorang anak buruh tani biasa yang kemudian berhasil menapaki jenjang kehidupan priyayi. Dan selanjutnya bergumul dengan berbagai masalah baik dari lingkungan maupun keluarganya sendiri yang menguji keberadaannya sebagai seorang priyayi.

Jadi sebenernya apa sih priyayi itu?
Pertanyaan itu pula yang bikin aku pengen baca novel ini. Selama ini aku cuma denger dari lingkungan jawa di sekitarku adanya istilah ini. Dan kalo aku susun2 dari semua info sekilas itu, yang aku tangkap adalah bahwa istilah priyayi itu diberikan pertama pada orang2 yang memang punya keturunan ningrat dari kraton2 Jawa. Kedua, kadang diberikan juga pada orang2 jawa yang memiliki jabatan tinggi, kaya, tapi tetap menjaga tradisi ke-jawa-annya. Ketiga, dipakai sebagai sebutan bagi orang2 jawa yang sangat menjaga tata-krama, tidak grusa-grusu, sesuai dengan stereotip orang jawa yang (katanya) sopan dan halus.

Dari Wikipedia disebutkan bahwa priyayi adalah sebutan yang hanya untuk kelompok bangsawan keturunan keluarga kerajaan. Ditandai dengan adanya gelar ningrat pada namanya, macam Raden, Raden Mas, Raden Ajeng, Roro, hingga yang puaanjang2 kayak KGPH, BRM, GRA, ato KRMT (errrr....disindir nggak ya? disindir nggak ya?... enggak deh.. :P).

Secara Etimologi (aku juga nggak ngerti apa artinya "etimologi". "Eti mo lagi" kali ya? emang mo apaan? auk lah, tanya aja ama mbak Eti .. :D), kata priyayi ini konon berasal dari kata "para yayi" atau "para adik" yang menunjuk kepada adik2 dari seorang Raja Jawa dan kemudian meluas lagi kepada seluruh kerabat dari Raja.

Priyayi Menurut Umar Kayam

Tapi kalo menurut yang dipaparkan di novel ini, yang namanya kalangan priyayi ternyata bukanlah suatu lingkaran tertutup yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain selain keturunan raja. Orang biasa yang berasal dari keturunan paling rendah sekalipun bisa diakui sebagai priyayi asalkan mau mengikuti aturan dan persyaratan tidak tertulis yang ada.

Karena priyayi menurut novel ini adalah orang2 yang pada masa itu mempunyai kedudukan terpandang. Antara lain mereka yang punya jabatan di sektor formal di lembaga yang dikelola penguasa baik itu oleh pemerintah Kolonial ataupun oleh Kraton, seperti jabatan sebagai guru, dokter, jaksa, pejabat pemerintahan atau abdi dalem. Tapi bukan itu saja sih, karena paman Mukaram, mertua dari Sastrodarsono, yang seorang mantri penjual candu yang sudah dipercaya oleh gupermen juga diakui sebagai seorang priyayi. Jadi ya kira2 orang2 yang dipercaya penguasa dan punya pengaruh gitu lah. Dan mereka yang bukan priyayi adalah rakyat biasa yang bekerja sebagai petani, buruh, atau pedagang kecil.

Sedikit juga ada disinggung di novel ini tentang ciri priyayi secara fisik. Antara lain bibir yang tidak terlalu tebal, tulang pipi tidak terlalu menonjol, hidung tidak terlalu pesek, dan kulit yang kuning langsat. Ciri-ciri itu disebut sebagai garis-garis priyayi, yang bertolak belakang dengan garis-garis keturunan petani. Fisik yang bagus dan ayu, mriyayeni.

Secara tersirat juga dituturkan bahwa priyayi adalah orang yang tinggal di rumah besar yang bagus, dengan beberapa orang pembantu yang mengerjakan dan menyiapkan segala keperluan majikannya. Perilaku mereka juga sangat terjaga, sangat mengindahkan kaidah tata krama dari tradisi jawa. Menjadikan kisah2 wayang sebagai teladan yang bisa diambil hikmahnya dalam menjalani setiap sudut kehidupan. Keluarga menjadi fokus utama yang harus dipertahankan dan diseimbangkan, jangan sampai suatu masalah akan membuat martabat keluarga jatuh dan terhina.

Di akhir cerita, Umar Kayam memberikan prespektif lain dalam melihat sosok priyayi melalui pidato yang diucapkan Lantip. Priyayi bukanlah kalangan elit yang halus, luwes, elegan, dengan filsafat yang rumit. Priyayi sebagai orang2 yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat, seharusnyalah menempatkan diri sebagai orang yang melayani masyarakat sebaik-baiknya sesuai dengan profesinya. Priyayi yang mempunyai semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik, yang mementingkan kerukunan dan persaudaraan.

Seperti Itukah Orang Jawa?

Novel ini memang dengan sangat baik menceritakan kehidupan seorang priyayi Jawa. Perjuangannya, kegigihannya, ketegasannya di balik watak dan penampilan luar yang penuh sopan santun selayaknya orang Jawa. Juga mengungkap ketakutan2 mereka, kesalahan2 yang dibuat, dan usaha mereka untuk membayar atau menutupi kesalahan yang sudah terlanjur terjadi.

Tapi apakah itu mewakili semua orang jawa? nggak juga aku pikir. Di novel ini saja dimunculkan orang jawa yang di luar pakem stereotip itu. Ada Soenandar, keponakan yang tidak hentinya mencari masalah yang hidupnya berakhir dengan mengenaskan. Ada Martoatmodjo yang berani terang2an mengambil resiko dengan menjadi simpatisan para pejuang pergerakan. Ada pejabat School Opziener yang penjilat. Ada Martokebo yang awalnya tetangga baik, tapi kemudian menyerahkan teman2nya sendiri untuk dibantai PKI. Memang tidak bisa digeneralisir begitu, walaupun lingkungannya sama tapi tiap kepala pasti tetaplah beda2 cara berpikirnya.

Apalagi kalo mau dipolakan pada masyarakat jawa masa kini. Pastilah sudah begitu banyak perbedaan cara berpikir orang jawa masa lalu dengan masa sekarang. Sedikit orang jawa yang masih memahami cerita wayang, apalagi sampai menjadikannya sebagai teladan yang berlaku sebagai pedoman hidup. Budaya global yang mengandalkan rasio dan penuh kebebasan jauh lebih memikat generasi muda daripada budaya jawa yang penuh aturan dan klenik.

Kebanyakan masyarakat jawa sih sepertinya masih mempertahankan tradisi yang penuh dengan basa-basi dan tata krama sebagai satu cara untuk menghormati orang lain. Tapi hal seperti itu hanya dilakukan pada saat diperlukan saja, tidak untuk keseharian. Pada keseharian, mau tidak mau ya harus mengikuti irama kehidupan yang ada saat ini, praktis dan pragmatis, apalagi bagi yang tinggal di kota besar.

"Priyayi" Masa Kini

Begitu juga label "priyayi", saat ini sepertinya yang masih layak mengemban gelar itu ya tinggal para kerabat keraton saja. Karena sudah begitu banyak yang menjadi pegawai kantoran yang pada masa lalu layak mendapat label "priyayi". Priyayi itu kan menunjukkan status klas yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Kalo banyak orang sudah berada di posisi itu, kan ya nggak cocok lagi untuk menjadi penanda status.

Walaupun saat ini udah nggak musim kelas2an atau kasta di dalam masyarakat, tapi karena pada dasarnya masyarakat jawa itu sudah terbiasa dengan cara hidup feodal yang sangat mengagungkan raja, ya saat ini mereka mencari figur lain yang layak untuk mendapatkan penghormatan layaknya raja.

Jadilah para pejabat2 tinggi di pemerintahan dan keluarga dekatnya, yang saat ini tampaknya menjadi "priyayi"2 baru yang dihormati dan "didekati" oleh masyarakat. Dan satu lagi kalangan yang juga sangat dihormati dalam masyarakat jawa adalah para kyai dan keluarganya.

Mereka itu yang mendapat perlakuan sebagaimana "priyayi" pada masa lalu, dihormati, dipandang, dan diakui statusnya yang berbeda daripada masyarakat kebanyakan. Walaupun memang tidak lagi mengenakan label "priyayi". Dan sebagaimana priyayi di masa lalu, merekapun dituntut untuk menjaga perilakunya sesuai dengan status yang mereka sandang. Memang mereka2 inilah yang saat ini "punya gigi" untuk memberikan pengaruhnya dalam mengarahkan masyarakat jawa pada masa sekarang.

Dan sungguh akan sangat disayangkan jika para "priyayi" masa sekarang ini tidak lagi mempunyai pedoman hidup yang dijunjung tinggi, sebagaimana para priyayi masa lalu yang menjunjung tinggi filsafat jawa dari pewayangan ataupun sastranya. Masyarakat jawa yang umumnya tunduk dengan junjungannya akan menjadi kehilangan induk, jika ternyata para "priyayi" ini bertindak tidak selayaknya priyayi yang memegang semangat pengabdian kepada masyarakat.